Sejarah Ciranjang


SEKITAR 14,5 kilometer sebelum Kota Cianjur dari arah Bandung, di sanalah Kecamatan Ciranjang, termasuk Kabupaten Cianjur. Kecamatan ini terdiri dari 9 desa, yaitu Desa Cibiuk, Ciranjang, Gunungsari, Kertajaya, Mekargalih, Nanggalamekar, Sindangjaya, dan Desa Sindangsari. Di sebelah utara, Kecamatan Ciranjang berbatasan dengan Kecamatan Mande, di Selatan dengan Kecamatan Haurwangi, di timur dengan Kecamatan Cipatat dan Haurwangi, dan di barat berbatasan dengan Kecamatan Sukaluyu.
Kota Ciranjang sekarang mula-mula termasuk daerah bandung, tetapi sejak tahun 1902 termasuk wilayah Cianjur. Nama Ciranjang dipakai mulai tahun 1912, karena sebelumnya daerah itu disebut Cihea.
Konon yang mula-mula mendirikan keraton di Cihea adalah raja Majapahit yang bernama Prabu Jaka Susuruh atau Prabu Hariang Banga, yang namanya sering disebut dalam ceritera Pantun Sunda. Raja ini terdesak dari kerajaan Pajajaran, yang dikatakan oleh adiknya sendiri yang bernama Ciung Wanara, dan kemudian mundur dan bertahan di Cihea. Tetapi lama kemudian wilayah-wilayah ini ditinggalkannya. Bekas-bekas kerajaannya seperti keraton, tempat mandi raja, alun-alun, benteng-benteng dan sebagainya, sampai sekarang masih ditemukan di kampung Susuruh di daerah Desa Sukarame sekarang.
Di samping Raja Susuruh, yang pernah menguasai daerah Cihea ini juga seorang keturunan Pajajaran yang bernama Raden Rangga Gading. Bekas-bekas peninggalannya ditemukan di kampung Panghiasan, desa Gunung Halu sekarang, berupa bekas-bekas keraton, pecahan benda-benda dari kaca, piring, dan mangkuk-mangkuk kuno yang diduga buatan Cina. Setelah raja ini meninggalkan Cihea, kurang lebih tahun 1380, daerah itu menghutan kembali.
Pada tahun 1645 ada pendatang baru ke sana, Prabu Cakrakusumah atau Sultan Agung dari Mataram pada waktu itu telah menguasai pesisir utara tanah Sunda dengan Sungai Citarum sebagai batasnya, bagian barat dikuasai Sultan Banten. Penguasaan atas daerah itu sudah berlangsung sejak pendahulu Sultan Agung atau sejak tahun 1585. sultan Agung sebenarnya berkeinginan untuk meluaskan wilayahnya itu ke arah barat, sejalan dengan cita-citanya ingin menguasai seluruh pulau Jawa. Namun, dengan Sultan Banten itu telah berlangsung persahabatan lama.
Sultan Agung kemudian, membuka pemukiman-pemukiman di daerah perbatasan itu untuk mengawasi bupati-bupati Sunda kalau-kalau mereka memberontak. Di samping itu para penghuninya ditugaskan menyiapkan perbekalan hasil bumi.
Sesudah tahun 1645, Sultan Agung mengutus dua orang pembesar yang cakap untuk membuka tanah koloni di sepanjang sungai Citarum ke arah hulu. Kedua pembesar yang terpilih adalah Tumenggung Nampabaya dan Tumenggung Lirbaya, kakak beradik, yang selanjutnya disebut pangeran karena mereka memang keturunan pangeran, masih kerabat Pangeran Purbaya yang dikisahkan dalam Babad Batawi. Kedua utusan itu berangkat dengan dua orang pengiring yang setia ialah Nayakerta dan Nayakerti. Mereka berangkat dari Mataram melewati daerah Banyumas, Tegal, Cirebon, Sumedang, Parakan Muncang, Majalaya, Ciparay, Manggahang, banjaran, Soreang, Cipatik, dan Batulayang. Di daerah-daerah yang dilewati itu mereka mendapat sambutan bersahabat dan kehormatan. Mereka paling lama tinggal di wilayah Batulayang karena daerah ini adalah batas paling barat wilayah Mataram. Dalem Batulayang terkenal cakap mengurus rakyatnya dan amat disegani.
Pangeran Nurbaya dan Pangeran Lirbaya serta pengiringnya berangkat meninggalkan Batulayang untuk menjalankan perintah Sultan Agung. Selama dalam perjalanan, ia mengetahui bahwa aliran Sungai Citarum sesungguhnya banyak berkelok ke arah timur, yang berarti “menggerogoti” wilayah Mataram. Setelah jauh mengikuti aliran Citarum, melalui Curugagung, Cikalong, dan Leuwiliang maka sampailah ke hutan Cihea. Mereka beristirahat di atas batu besar di tepi sungai. Ketika mereka tertidur, keduanya terhanyutkan banjir yang datang secara tiba-tiba, akhirnya terdampar jauh di hilir. Pangeran Nampabaya dan Pangeran Lirbaya mendapat impian yang sama. Mereka didatangi seorang kakek-kakek yang memberi petunjuk agar kembali ke arah hulu tempat beristirahat tadi.
Dalam rangkaian peristiwa selama perjalanan itulah terjadinya sasakala (cerita asal-muasal) beberapa nama tempat, antara lain kampung Batununggal, Cihea, Pasir Tangkolo, Nyampay, Pangkalan, Batu Tumenggung, kali Cinungnang, dan kampung Pasanggrahan. Kemudian terbentanglah daerah Cihea menjadi negeri yang ramai. Dalem Nampabaya memerintah negeri dengan baik, adil, dan bijaksana. Sebagai patihnya ialah Pangeran Lirbaya.
Dalem Nampabaya mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Pangeran Nerangbaya. Ia seorang pemuda cakap.
Kota Ciranjang telah menyedot banyak perhatian penggubah lirik-lagu. Ada dua lirik-lagu pop Sunda yang mengambil latar Kota Ciranjang. Yang pertama lirik-lagu Kembang Ciranjang, yang mengisahkan pemuda yang sepintas melihat gadis cantik di Ciranjang, namun ternyata sudah ada yang memetik.
Basa indit ka Cianjur// Ci Sokan mah kaliwatan// Pas pisan lebah Ciranjang// Ningali sagagang kembang// Ngahuleng saparat jalan// Kaambeu seungitna kembang// Ngalangkang dina emutan// Teu weleh kokolebatan// Sugan wae kapimilik// Balikna arek dipetik// Eukeur mapaesan hate// Eukeur miguraan cinta// Hanjakal kapiheulaan// kembang the tinggal gagangna// Meureun geus aya nu ngala// Duka dibawa ka mana.
Berikutnya lirik-lagu Ciranjang, mengisahkan pertemuan seorang pemuda dengan gadis cantik di Ciranjang. Namun gadis itu nampak masih ragu.
Basa tepang di Ciranjang// Salira imut marahmay// Dina lebah sasak panjang// Duh aduh hate kagembang.// Palalangkung di Ciranjang// Salira sapertos bingbang// Dina lebah sasak pisan// Na ku naon duh emutan// Na ku naon aya naon// Na saha nu diantosan// Deudeuh teuing nyaah teuing// Ulah sok putus harepan// Tong salempang tong hariwang// Ulah sok janten emutan// Aya akang nu nyarengan// Geulis tong janten lamunan.
Nama geografis Ciranjang, ternyata bukan merujuk pada kata ranjang, yang dalam bahasa Sunda berarti katil atau tempat tidur, tetapi merujuk pada nama burung kecil, paranjangan (Mirafra javanica), yang saat ini namanya tidak populer di Tatar Sunda, karena sudah berganti nama menjadi titimplik. Di Jawa Tengah, burung kecil bersuara nyaring dan indah ini dikenal dengan nama branjangan.
Burung paranjangan hidup menyendiri atau berkelompok, umumnya hidup di atas tanah, di daerah yang terbuka dengan padang rumput yang pendek, dan di sawah yang baru dipanen. Mengingat kebiasaan hidupnya itu, menjadi sangat wajar mengapa kawasan Ciranjang pada masa lalu menjadi habitat yang sangat baik bagi burung paranjangan. Pertama Ciranjang diapit oleh dua sungai, yaitu Ci Laku dan Ci Sokan di sebelah barat, dan Ci Tarum di sebelah timur, sehingga tersedia banyak air. Kedua, Ciranjang dan umumnya kawasan Cianjur yang lebih luas, pada masa prasejarah pernah dilanda guguran puing dan banjir lahar dahsyat dari letusan gunungapi yang besar dari Kompleks Gunung Gede – Pangrango tua, yang membentuk kawasan Cianjur menjadi dataran dengan tanahnya yang subur. Sampai sekarang, di selatan Ciranjang masih berupa pesawahan yang luas. Ketiga, habitat burung paranjangan sampai ketinggian + 800 m dpl, sementara kawasan Ciranjang ketinggiannya sekitar + 300 m dpl. Karena kawasan Ciranjang relatif datar, perpaduan lahan darat berupa bukit-bukit kecil yang terbuka dan pesawahan, maka ada jaminan ketersediaan makanan untuk burung ini, yang berupa serangga, biji-bijian, dan daun-daunan.
Paranjangan beristirahat di semak-semak. Sarangnya berbentuk mangkuk, dibangun di atas tanah yang terlindung, atau di atas rumput. Telurnya sebanyak tiga sampai empat butir berwarna kuning tua kecoklatan dengan bercak abu-abu halus. Musim berbiak burung paranjangan pada bulan Maret, Agustus, sampai September, dengan masa puncaknya antara Mei dan Agustus.
Burung paranjangan ini warnanya merah kekuningan, dengan paruhnya yang tebal, mempunyai jambul, dan suka bernyanyi di atas tanah atau di udara saat terbang. Burung kecil sepanjang 13-14 Cm ini terbang melayang-layang, mengombak, lalu berputar sambil bernyanyi dengan irama yang nyaring dan indah. Pada saat terbang, titimplik dapat dengan segera turun dengan cara menukik secara vertikal. Burung ini merupakan burung dengan penyebaran yang sangat luas, terdapat di Afrika, India, Filipina, Asia Tenggara, sampai Australia. Di Indonesia paranjangan tersebar di Kalimantan Selatan, Jawa, dan Bali.
Di dunia perburungan, saat ini Ciranjang tidak terkenal sebagai asal burung paranjangan. Daerah yang terkenal bagi peminat burung titimplik ini adalah Sapan di selatan Bandung. Secara alami, Sapan memungkinkan menjadi habitat burung paranjangan, karena berupa pesawahan yang luas dan daratan. Burung paranjangan dari Sapan itu walau ukuran fisiknya lebih kecil, antara 12-13 cm, berjambul, bulu warna lebih gelap, namun kelebihan utamanya adalah suaranya yang nyaring dan melengking indah.
Keadaan lingkungan sudah berubah dengan sangat cepat. Nama burung paranjangan abadi menjadi nama geografi Kota Ciranjang. Semoga kawasan ini tetap nyaman bagi semua penghuninya

No comments:

Post a Comment

Pages