Sumber Foto : https://www.kompasiana.com/okynugraha |
TUGU kusam di tepi sungai Cisokan (masuk wilayah Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur) itu berdiri tegak dalam kawalan sederet tebing tinggi. Tepat di belakangnya, mulut jurang penuh belukar menganga. Sementara di sisi kiri dan kanan serakan sampah plastik bersatu padu dengan sampah dedaunan yang jatuh dari pepohonan yang memagari kawasan tersebut. Ada tulisan yang sudah mulai melamur di badan tugu itu, bunyinya:Peristiwa Pertempuran, Pasukan Banteng-Hisbulloh/Sabilillah- Rakyat lawan Tentara Inggris.
Tak ada satu pun orang di sekitar Ciranjang yang bisa menerangkan sejak kapan tugu itu berdiri. Titik terang mulai muncul saat saya mengunjungi H. Nasilan Asmin (93), salah satu tokoh masyarakat Ciranjang yang masih ada. Menurut Komandan Rayon Militer (Danramil) Ciranjang tahun 1954 itu, tugu peringatan tersebut diresmikan sejak 1974. Yang menginisiatifi pembuatannya adalah Kapten Mukri, Danramil saat itu.
“Ia berpikir bahwa peristiwa pertempuran di Cisokan pada 1946 tersebut sangat penting dan harus diabadikan dalam sejarah bangsa ini,” ujar Nasilan.
Mukri benar adanya. Peristiwa pertempuran Cisokan pada akhir Maret 1946, secara historis memang sangat penting bukan saja bagi pihak Indonesia namun juga untuk pihak Inggris. Begitu pentingnya, hingga Red Flash (jurnal yang dikeluarkan oleh Asosiasi Resimen Gurkha Riffles) mengulasnya secara khusus dengan judul The Battle of Tjirandjang Gorge ( Pertempuran di Tebing Ciranjang).
Pertempuran hebat melawan militer Inggris yang disebut-sebut berlangsung selama dua hari dua malam itu melibatkan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berbagai kekuatanlasykar rakyat setempat.
Api dalam Sekam
Berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dicetuskan oleh Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 datang ke Ciranjang sebagai sesuatu yang tak begitu jelas. Terhadap isu yang sangat kencang bertiup itu, tak ada yang bisa dilakukan oleh rakyat Ciranjang kecuali menunggu kepastian.
“Terus terang, kami menjadi rampang-reumpeung (gelisah), tak tahu apa yang harus dikerjakan,”ungkap R.Dawan (eks pejabat Kewedanaan Ciranjang) dalam sebuah dokumen berjudul Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Kecamatan Ciranjang Kabupaten Cianjur.
Kepastian baru tiba lewat seorang kurir pada 18 Agustus 1945. Menurut Tahkimula B. Arifien dalam Catatan Ciranjang dan Desa Gunung Halu di Sekitar Perang Kemerdekaan RI tahun 1945-1949, begitu mendapat lampu hijau dari Jakarta, perangkat pemerintahan republik pun disusun dan diumumkan ke khalayak pada awal September 1945.
“Sebagai wedana diangkatlah R. Adiekoesoemah dan putranya yang eks prajurit PETA (Pembela Tanah Air) bernama R. Aom Boy Soelaiman sebagai kepala Badan Keamanan Rakyat (BKR) Ciranjang,” tulis Tahkimula.
Seiring dibentuknya perangkat-perangkat pemerintahan republik, di kalangan rakyat Ciranjang muncul pula berbagai milisi bersenjata yang populis disebut lasykar. Diantaranya adalah Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) pimpinan Mohamad Ali, Hizboellah pimpinan Mohamad Basyir dan Sabilillah pimpinan R.Iim Ibrahim.
“Nama-nama tersebut dikenal sebagai para pemimpin muda yang berani saat itu, terutama Mohamad Ali,” ujar Juhdi (92), eks anggota BBRI Cianjur.
Aktifitas lasykar terbilang aktif sejak sebelum didirikannya pemerintah resmi di Ciranjang. Sebagai contoh pada 29 Agustus 1945, BBRI menghadang sekaligus menghancurkan 2 truk tentara Jepang yang akan bergerak dari Ciranjang ke Bandung. Begitu pula Hizboellah. Mereka kerap terlibat dalam penculikan dan perampasan senjata para serdadu Jepang yang saat itu masih banyak beredar di Ciranjang.
Desember 1945, tentara Inggris datang dan menduduki Ciranjang. Situasi tersebut, menjadikan kota kecil itu bak api dalam sekam. Sejak itulah secara de facto, Ciranjang terbelah menjadi dua: wilayah kota diduduki tentara Inggris dan wilayah pinggiran yang dikuasai kelompok-kelompok bersenjata pro republik. Nyaris tiap hari, bentrokan antara dua kekuatan bersenjata tersebut tak terelakan. Berbagai pencegatan konvoi militer Inggris yang mengangkut kebutuhan logistik beserta amunisi dari Jakarta-Bandung atau sebaliknya kerap terjadi.
“Di jalur itu, pasukan kami praktis tak bisa memiliki kesempatan banyak untuk beristirahat…” tulis Letnan Kolonel A.J.F. Doulton dalam The Fighting Cock, The Story of the 23RD Indian Division.
Salah satu pertempuran hebat yang melibatkan kekuatan lasykar, TKR dan rakyat pernah terjadi di wilayah sekitar jembatan Citarum (Pongpoklandak, Cipetir dan Sipon). Ceritanya, pada 1 Januari 1946, telik sandi TKR mendapat informasi bahwa dari arah Bandung hari itu akan lewat konvoi tentara Inggris yang diperkuat para prajurit Gurkha.
“Diperkirakan mereka akan sampai wilayah Pongpoklandak menjelang tengah malam,” ujar Nasilan dalam dokumen berjudul Sekilas Perjuangan Kemerdekaan Rakyat Ciranjang 1942-1949.
Berdasarkan informasi tersebut, maka pada malam hari itu, bergeraklah kurang lebih dua kompi (300 orang) pasukan gabungan yang terdiri dari unsur-unsur BBRI, Hizboellah dan TKR menuju titik-titik penghadangan. Stelling (posisi penyergapan) sudah disiapkan sejak pukul 19.00, namun yang ditunggu belum jua tiba di depan mata.
Baru setelah tiga jam berlalu, gemuruh bunyi truk dan tank terdengar memecah kesunyian malam. Begitu tank baja pertama lewat di depan persembunyian para penghadang, komandan R.S. Rustamaji dari BBRI langsung menarik picu pistol sebagai tanda mulai penyerangan. Pertempuran pun berlangsung dalam intensitas tinggi hingga terjadi pertarungan satu lawan satu. Anggota BBRI bernama M. Soediro dengan nekad memburu seorang serdadu Gurkha yang sedang maju ke arah para penghadang. Terjadilah pertarungan memakai bayonet yang berakhir dengan tewasnya sang serdadu Gurkha.
“Musuh dapat kembali dipukul mundur menuju arah Bandung,” tulis R. Dawan.
Pertempuran Pongpoklandak yang berlangsung hampir dua jam itu berhasil membinasakan sejumlah serdadu musuh berikut sejumlah senjata yang berhasil dirampas dari tangan mereka. Dari pihak pasukan gabungan sendiri telah gugur dua pejuang. Masing-masing adalah R. Nata Atmadja (BBRI) dan Letnan Dua Imun Soelaiman dari TKR.
“Dia gugur akibat tembakan senjata otomatis yang dihamburkan serdadu Inggris dari satu panser wagon,” ujar Letnan Kolonel (Purn.) Eddie Soekardi, eks Komandan Resimen III TKR.
Tak terima dengan kekalahan itu, beberapa hari kemudian RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) mengirimkan sebuah Mustang ke wilayah Ciranjang. Setelah berputar-putar di atas kota, pesawat itu lantas menukik sambil menghamburkan peluru-peluru dari senjata otomatis. Salah satu tembakan diarahkan ke satu sedan hitam milik Natamihardja (Kepala Polisi Istimewa di Ciranjang), namun luput. Untung tak dapat diraih malang tak bisa ditolak, dalam suatu gerakan manuver di sekitar Curug, salah satu bagian sayap pesawat itu membentur batang pohon kelapa sehingga meledak dan terbakar lalu jatuh di tengah kota Ciranjang.
Pertempuran Brutal
Kendati kerap diterjang badai penghadangan oleh para pejuang republik, pada hari-hari di bulan Maret 1946, hilir-mudik konvoi Inggris di Ciranjang bukannya berkurang, malah semakin meningkat. Tentu saja situasi tersebut membuat para republiken menjadi bertambah berang, terlebih bertiup isu bahwa konvoi-konvoi Inggris itu mengikutsertakan juga para serdadu Belanda yang baru saja mendarat di pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta.
Atas prakarsa beberapa pimpinan lasykar, maka disusunlah rencana untuk melakukan penghadangan besar-besaran mulai arah Cianjur hingga perbatasan Ciranjang-Bandung. Waktunya: 20 Maret 1946, dengan melibatkan semua kekuatan BBRI, Hizboellah, Sabilillah dan satu seksi pasukan TKR pimpinan Letnan Sukarna.
“Kami sepakat mengangkat Pak Karna untuk menjadi komandan penghadangan tersebut,” ujar R. Makmur, eks anggota BBRI.
Persiapan penghadangan sudah dijalankan menjelang H-1. Untuk menahan laju konvoi-konvoi Inggris dari arah barat dan timur, bom-bom batok (ranjau darat buatan dalam negeri) telah ditanam di beberapa ruas jalan antara Cikijing dan Tungturunan. Demikian juga dengan fasilitas penunjang, seperti dapur umum telah disiapkan di beberapa tempat.
Dua hari sudah berlalu. Namun konvoi-konvoi yang ditunggu tak jua lewat. Setelah diselisik, rencana penghadangan itu ternyata telah bocor ke telinga orang-orang Inggris.Maka disusunlah rencana kedua sekaligus memutuskan pergantian pimpinan penghadangan itu dari Letnan Sukarna kepada Utom Bustomi (Komandan Batalyon II Hizboellah). Enggan mengorbankan rakyat banyak, maka diputuskan untuk mengosongkan kampung-kampung mulai dari Pasir Nangka sampai Tungturunan. Sebagai gantinya, para prajurit dari BBRI dan Hizboellah mengisi rumah-rumah itu dalam posisi stelling.
“Dalam penghadangan itu, ikut pula satu kompi Hizboellah Gunung Halu pimpinan Yotham Markaschan yang sebagian besar beragama Kristen,” ujar R. Makmur.
Pada 29 Maret 1945 sekitar pukul 16.00, sebuah Spitfire melayang-layang di atas wilayah sekitar sungai Cisokan. Satu jam berputar tiba-tiba pesawat itu pergi dan baru kembali keesokan pagi dengan diiringi satu pesawat Mustang dan dua pesawat bomber B.25. Dengan gencar, keempat pesawat tersebut menyiram posisi-posisi stelling para pejuang republik.
“Kapal-kapal udara itu tak hentinya menembakan peluru boroneng (maksudnya browning, sejenis senjata otomatis) ke arah kami,” kenang R. Makmur.
Situasi menjadi panik. Puluhan pejuang bergelimpangan di tengah sawah, belukar dan tepi sungai dalam kondisi terkena peluru lawan dari udara. Di satu petak sawah, Makmur menemukan seorang prajurit Hizboellah dengan seluruh tubuh penuh lumpur dan darah tengah sekarat.
Setelah merasa cukup mengobrak-abrik pertahanan para penghadang, keempat pesawat tempur itu menghilang dan disusul datangnya iring-iringan konvoi tentara Inggris dari arah barat. Sambil bergerak maju ke arah Ciranjang, iring-iringan konvoi itu menembaki daerah sekitar dengan senapan otomatis, mortir, dan kanon secara membabi buta.
“Di ruas jalan antara Cikijing dan Tungturunan, sebuah tank Sherman menginjak bom batok sehingga rantainya lepas,” tutur Yotham Marchasan dalam dokumen yang ditulis oleh R. Dawan.
Selang waktu tidak lama kemudian datang juga konvoi dari arah timur. Maka terjadilah pertempuran yang sangat hebat antara prajurit-prajurit lasykar yang bertahan di atas tebing dan hutan jati pinggir sungai Cisokan melawan pasukan Inggris yang tertahan di wilayah sebelum jembatan. Akibat kalah persenjataan dan amunisi, posisi lasykar terus terdesak. Mereka mundur untuk menyelamatkan diri, tapi alih-alih lolos, puluhan dari mereka justru terperosok ke dalam jurang-jurang yang dalam dan berbatu-batu lantas hanyut dibawa arus besar sungai Cisokan yang sedang banjir.
Seolah tak puas, serdadu-serdadu Inggris terus memburu para anggota lasykar hingga ke dalam hutan jati. Dalam situasi seperti itu, muncullah dua Spitfire dan kembali menyirami kawasan itu dengan peluru. Maka terjadilah insiden friendly fire (tembakan mengenai kawan sendiri) yang mengakibatkan banyak tentara Inggris tewas di bawah tebing dan hutan jati pinggir sungai Cisokan.
Sehari semalam pertempuran terus berlangsung secara brutal. Hari kedua (30 Maret 1946), pasukan Inggris melakukan pembersihan total di ruas jalur antara jembatan Cisokan hingga Cikijing sambil membakar rumah-rumah penduduk dan menembaki siapapun kaum pribumi yang mereka temui. Dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 5, Jenderal A.H. Nasution mengulas puputan (perang habis-habisan) di Cisokan ini dalam kalimat: “Musuh membakari kampung-kampung sepanjang jalan. Rakyat mengungsi dan meninggalkan sawah-sawahnya yang dekat ke jalan raya, sejak itu pula jalur keretapi Padalarang–Cianjur putus sama sekali, karena vak ini dianggap tidak aman lagi. Musuh praktis telah menduduki kembali Ciranjang.”
Pihak Inggris sendiri memiliki kesan dengan pertempuran dasyat yang terlupakan ini. Itu dibuktikan dengan diulasnya secara khusus insiden tersebut dalam Red Flash (jurnal yang dikeluarkan oleh Asosiasi Resimen Gurkha Riffles). Pertempuran Cisokan juga seolah membuktikan kata-kata Letnan Kolonel A.J.F. Doulton dalam The Fighting Cock, bahwa sejatinya pengiriman pasukan Inggris ke pulau Jawa adalah untuk memasuki “suatu gudang peluru (arsenal) yang tengah meledak.”
No comments:
Post a Comment