Asal-usul “Meong”
Berdiri di Jalan HOS Cokroaminoto No 160, Cianjur, Jawa Barat, sebuah papan nama cukup besar bertuliskan “Tauco No. 1 buatan Nyonya Tasma, Cap Meong” nangkring di bagian atas bangunan. Bentuk bangunannya sederhana, khas rumah toko (ruko) milik orang Tionghoa tempo dulu.
Di dalam, tiga buah meja, dua lemari kayu besar berisi botol-botol kosong, serta sebuah alat press tutup botol mengisi ruangan. “Kalau di sini, di Cokroaminoto, hanya untuk memasak adonan tauco yang telah selesai proses fermentasi lalu menjualnya. Kalau produksi dari awalnya di pabrik, letaknya di Gang Pelita”, kata Ekawati, pegawai toko tauco Cap Meong yang masih berhubungan darah dengan pemilik toko.
“Kakek saya masih bersaudara dengan Tan Bei Nio atau Betsi Tasma, yaitu anak dari perintis usaha tauco di Cianjur, Tan Kei Hian.”
Meski bangunan ruko itu cukup luas, ruangan yang digunakan untuk berdagang tidaklah terlalu lebar, hanya sekira 4x5 meter. Memasuki ruangan, aroma tauco segera menyergap indera penciuman. Aroma khas yang sudah melekat puluhan tahun.
“Dari awal berdiri ya tempat jualannya di situ, di HOS Cokroaminoto 160,” kata Harun Tasma, 74 tahun, pimpinan di Cap Meong.
Di Cianjur, usaha tauco dipelopori Tan Kei Hian, atau biasa dipanggil Babah Tasma. Panggilan tersebut muncul karena ia orang pertama yang memakai kacamata di daerah tempat tinggalnya. “Kacamata kan bahasa Sundanya, tasma. Karena dia yang pertamakali pakai, dan selalu dipakai sehari-harinya, makanya dipanggil Babah Tasma. Kalau soal asal-usul dirinya sendiri, saya kurang tahu. Sepertinya sih dia generasi pertama keluarga Tasma yang bermigrasi dari Tionghoa ke daerah Cianjur,” kata Harun.
Seperti kisah kebanyakan perintis usaha kecil tradisional, Babah Tasma memulai usaha tauconya dari industri rumahan. Saat tauco buatannya mulai digemari, pada 1880-an barulah dia serius menekuni usaha tauco.
Di awal usaha, selain Babah Tasma, usaha tauco juga digeluti sang istri, Ny Tasma. Uniknya, suami-istri ini membuat tauco dengan rasa berbeda. “Kalau Babah Tasma rasa tauconya cenderung manis, Ny Tasma lebih menyerap selera lokal, menyuguhkan rasa asin,” kata Harun. “Saat mereka bercerai, Babah Tasma kemudian mendirikan tauco Cap Gedong, sedang Nyonya Tasma melanjutkan usaha dengan merek Cap Meong.”
“Dalam perkembangannya ternyata masyarakat lebih menggemari tauco buatan Ny Tasma. Karena kurang laku, Cap Gedong akhirnya gulung tikar. Yang bertahan hingga saat ini ya Cap Meong. Merek Meong sudah digunakan sekira1889-an,” lanjut Harun.
Cerita yang berkembang seputar penggunaan nama “Meong” ini cukup menarik. Konon ditemukannya tapak kaki meong (Macan) di dapur, yang diyakini sebagai peliharaan Eyang Suryakencana, leluhur di Cianjur, menjadi sumber inspirasi. “Ya dari cerita-cerita orang tua yang saya dengar sih seperti itu,” kata Aup.
Dari Ny Tasma, usaha tauco Cap Meong kemudian menurun kepada anak perempuannya, Tan Bei Nio atau Betsi Tasma. Dia mulai memegang kendali usaha sejak 1935. “Betsi Tasma menikah dua kali, dari suami pertama punya anak seorang perempuan, namanya Wiri Jati Tasma. Sedang dari suami kedua, Hariman Yusuf, melahirkan saya, Harun Tasma,” terang Harun.
Pada 1985, karena Betsi Tasma sakit-sakitan, kepemimpinan di Meong pun lengser kepada anak perempuan tertuanya Wiri Jati Tasma. “Wiri Jati sebenarnya seorang guru baptis di Jakarta. Pada 1985 dia akan memasuki masa pensiun. Tapi karena ibunya sakit-sakitan, sebelum masuk pensiun dia lebih dulu keluar untuk mengurus usaha tauco,” kata Ekawati.
Meski berlatar belakang guru, Wiri Jati lumayan sukses mengibarkan bendera usaha Cap Meong. Setidaknya untuk sekadar terus bertahan, walau saat itu kondisinya sudah tidak terlalu menguntungkan. Munculnya merek-merek baru membuat persaingan semakin ketat. Harga bahan baku pun relatif tidak stabil. Apalagi seiring beroperasinya jalan tol Cikampek-Purwakarta-Padalarang (Cipularang), diresmikan April 2005, bisnis tauco di Cianjur mulai meredup. “Sekarang yang tersisa paling Biruang, Badak, Harimau, dan Meong. Dulu ada banyak,” kata Eka.
Menurut Harun Tasma, pada 1930-1960 potensi jual produk tauco Cap Meong masih cukup bagus. Apalagi saat itu belum banyak pesaing. “Wah, kalau lagi bulan puasa itu dulu sampai ngantri. Maklum, tauco kan bisa jadi lauk enak yang harganya murah; tinggal ditumis terus dimakan sama nasi aja udah enak,” kenang Harun.
Saat Wiri Jati Tasma meninggal pada 2011, Harun Tasma menggantikan posisinya. Dengan berbagai rencana inovasi yang bakal ditempuhnya, Harun yakin Cap Meong bakal makin maju. “Varian akan diperbanyak. Nanti akan ada taoji, juga ada sambal tauco. Selain itu kita sedang menyiapkan sebuah restoran di Cujenang, Pacet, Cianjur yang semua menunya dari olahan tauco,” promosi Harun.
Menjaga Mutu
Areal pabrik di Gang Pelita itu cukup luas. Di dalamnya berdiri sebuah bangunan tua berbentuk huruf “L”. Di sisi kanan bangunan, potongan-potongan kayu menumpuk. Sebuah kuali besar bersandar di atas tungku kayu. Di bagian tengah, botol-botol tauco kosong yang telah dicuci dan berbagai peralatan kerja memadati bangunan.
Di halaman pabrik terdapat hamparan kedelai yang sedang dijemur serta deretan guci berisi kedelai yang bagian atasnya ditutup seng. Di dalam guci itu, kedelai sedang dalam proses fermentasi.
“Proses awal, kedelai dijemur selama 3-4 hari, digiling kasar lalu dicuci, habis itu dimasak selama enam jam. Selesai masak dijemur sampai ¾ kering, diperam selama tiga hari samapai keluar jamur. Proses selanjutnya direndam di air garam sampai kering, sekira 10 hari. Setelah kering ditaruh di bak-bak khusus selama dua bulan, menunggu sampai ‘madu’-nya keluar,” terang Abdulraup. Lama proses yang dijelaskannya itu, berdasarkan perhitungan bila cuaca normal, kalau hujan, proses pengerjaan tambah larut.
“Itu kenapa harganya agak mahal dari yang lain, karena proses pengerjaan yang menghasilkan produk yang baik terus kita pertahankan,” kata Aup.
Tauco made in Cianjur cukup dikenal di mana-mana. Bahkan selain dikenal sebagai kota penghasil beras, Cianjur juga lekat dikenal dengan daerah pembuat tauco. Sebagai bumbu masak yang terbuat dari kedelai yang difermentasi, tauco memang bisa memperlezat aneka masakan.
Di Nusantara, referensi pertama mengenai tauco, seperti ditulis William Shurtleff and Akiko Aoyagi dalam History of Miso and Soybean Chiang, dapat dirunut dari tulisan seorang ilmuwan Belanda, Prinsen Geerligs, pada 1895-1896. Geerligs menyebutnya tao tsioe dalam artikel Belanda pada 1895 dan tao tjiung dalam artikel Jermannya pada 1896.
Dalam tulisannya, William Shurtleff and Akiko Aoyagi juga mengatakan kalau tauco masih berhubungan dengan jiang, bumbu masak asal Tiongkok. Diperkirakan berasal sebelum Dinasti Chou (722-481 SM), jiang diklaim sebagai bumbu tertua yang diketahui manusia. Awalnya dikembangkan sebagai cara melestarikan makanan kaya protein hewani untuk digunakan sebagai bumbu. Dari situ, bangsa-bangsa Asia Timur juga menemukan bahwa ketika seafoods dan daging ( kemudian kedelai) yang asin atau direndam dalam campuran garam dan anggur beras (atau air,) protein mereka dipecah oleh enzim menjadi asam amino, yang pada gilirannya dapat merangsang selera makan manusia, serta dapat digunakan sebagai penambah rasa makanan lain.
Jika di Indonesia jiang berkembang menjadi tauco, di Jepang varian jiang berkembang menjadi miso. Miso adalah bahan makanan asal Jepang yang dibuat dari fermentasi rebusan kedelai, beras, atau campuran keduanya dengan garam. Miso digunakan sebagai bumbu masak untuk berbagai jenis makanan Jepang.
Di Nusantara, tauco diperkenalkan oleh para pendatang asal Tiongkok. Salah satunya Tan Ken Yan, yang mempeloporinya di daerah Cianjur. Tauco Cap Meong, demi menjaga mutu, sampai saat ini tetap mempertahankan proses pembuatan tauco dari leluhurnya. Bahkan, peralatan yang dipakai pun tak ada yang diganti. Misalnya, guci atau gentong. Banyak guci dan gentong yang usianya lebih tua daripada usia pegawainya
Demikian pula dengan proses memasak, dari dulu hingga sekarang masih mengunakan kayu bakar. Sebelumnya, sempat dicoba menggunakan kompor semawar, tetapi hasilnya tidak bagus.”Pernah coba pakai kompor, tapi aroma khasnya tidak keluar. Lagi pula kalau adonan kena minyak tanah sedikit saja, rusak semua sudah,” ujar Aup.
Bisnis tauco di Cianjur diakui Ekawati dan Abdulraup sudah tidak sebagus dulu lagi. Tapi dengan tetap mempertahankan kualitas, mereka yakin Meong akan bertahan. “Kalau harga mahal asal mutunya bagus, orang pasti akan tetap beli. Yang penting mutu terus dijaga,” ujar Ekawati.
Di sisi lain, kondisi keamanan di Cianjur cukup stabil di daerah Cianjur. “Gak pernah tuh ada demo-demoan, atau bakaran-bakaran akibat persoalan rasis. Jadi dari dulu untuk usaha aman-aman saja. Dari sisi ekonomi, bahkan waktu krisis eknomi 1998 saja gak terlalu berpengaruh,” ujar Harun Tasma. “Yang berat justru sekarang, harga kedelai gak stabil, tinggi banget. Kalau produknya ada sih gak apa-apa, udah mahal kadang di pasar gak ada.”
Namun Harun Tasma tetap yakin. “Dengan inovasi-inovasi yang akan saya lakukan, saya yakin Cap Meong akan maju lagi,” tekad Harun.
.
No comments:
Post a Comment